
Dalam Islam, dianjurkan agar khitbah dilaksanakan dengan adab atau etika yang baik agar lebih berkah. Dalam hal ini, cara mengkhitbah bisa berbeda-beda sesuai dengan situasi dan adat masyarakat. Khitbah bisa dilakukan dengan cara si laki-laki mendatangi sendiri wali si wanita, lalu menyatakan niatnya.
Selain itu, bisa pula dengan cara mengutus perantara dan bisa pula melalui surat. Kamu boleh memilih cara yang memungkinkan atau yang sesuai dengan keadaan setempat.
Baca juga: Pengertian dan Hukum Khitbah Dalam Islam
Mendatangi dan Meminta Izin Kepada Wali yang Akan Dilamar
Meskipun islam tidak mewajibkan prosesi lamaran, tetapi khitbah memiliki hukum sunnah dan dianjurkan dilakukan sebelum prosesi acara pernikahan. Hal ini sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw. Sebelum menikahi seseorang, beliau meminang calon mempelai terlebih dahulu dengan tujuan mengetahui pendapat wanita yang dipinangnya, setuju atau tidak. Selain itu, tujuannya juga untuk mendengar pandangan dari orang tua calon mempelai wanita.
Ketika kamu sudah mantap dan ingin melamar wanita idamanmu, kamu harus meminta izin dan pendapat terlebih dahulu kepada walinya. Jika diizinkan, maka barulah proses lamaran yang akan berlanjut pada proses pernikahan antara kalian.
Dalam prosesi lamaran, biasanya pelamar didampingi oleh keluarga, ustadz, atau pemuka agama, kemudian mendatangi kediaman si wanita untuk meminta restu dari orang tuanya agar bisa dinikahkan pada laki-laki yang melamarnya. Jadi, hal yang paling penting ialah tujuan dan maksud baiknya, yaitu meminta izin agar kamu dan si dia bisa terikat dalam pernikahan yang sah.
Sebenarnya, kamu boleh melamar wanita pujaan secara langsung kepadanya tanpa melalui walinya. Kamu juga boleh mengkhitbah si dia langsung melalui walinya. Dua-duanya dibolehkan secara syar’i dan termasuk dalam pengertian khitbah. Keduanya dibolehkan karena terdapat banyak dalil yang menunjukkan kebolehannya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ummu Salamah Ra. mengisahkan bahwa ketika suaminya (Abu Salamah) meninggal, Rasulullah Saw. mengutus Hathib bin Abi Baltha’ah Ra. untuk mengkhitbah Ummu Salamah Ra. Bagi Rasulullah Saw.
Berdasarkan hadits tersebut dapat diketahui bahwa Rasulullah Saw. langsung melamar kepada Ummu Salamah Ra., bukan mengkhitbah melalui wali Ummu Salamah Ra.
Sementara itu, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Urwah bin az-Zubair Ra. menuturkan bahwa Rasulullah Saw. melamar Siti Aisyah Ra. melalui ayahnya, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. Artinya, beliau mengkhitbah Aisyah Ra. melalui walinya. Selain itu, kamu juga diperbolehkan meminang (mengkhitbah) wanita dengan mewakilkannya kepada orang lain, sebagaimana diperbolehkannya kamu meminang sendiri wanita yang ingin kamu nikahi.
Jika melihat adat dan kebiasaan masyarakat di Tanah Air, tentunya akan lebih baik jika bukan kamu sendiri yang melamar wanita pujaanmu. Sebab, biasanya cara melamar wanita dilakukan tidak langsung oleh calon suami, yakni dengan mengajak orang tua, keluarga, ustadz, atau kiai. Sehingga, orang yang menyampaikan lamaran ialah pihak orang tua atau keluarga laki-laki kepada pihak orang tua calon pendampingmu.
Jika sebelumnya kamu telah melakukan ta’aruf dan menjalin komunkasi dengan wanita yang kamu cintai, maka lamaran itu bukan lagi diajukan kepada si wanita, melainkan kepada ayah kandung atau walinya. Sebab, wali ialah orang yang akan menikahimu dengan calon jika lamaran itu diterima dan pernikahan terjadi.
Namun, bila sebelumnya tidak ada proses ta’aruf, maka si wanita yang ditanya terlebih dahulu, ia bersedia menerima pinangan kamu atau tidak.
Terkait itu, Rasulullah Saw. telah memberikan petunjuk. Beliau bersabda, “Janganlah kamu menikahkan janda sampai kamu meminta pendapatnya dan janganlah kamu menikahkan perawan sampai kamu meminta izinnya.”
Para sahabat bertanya, “Bagaimana kamu tahu ia mengizinkan?”
Rasulullah Saw. bersabda, “Ia diam saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Proses Lamaran Tidak Dipublikasikan
Sebaiknya, prosesi lamaran dilakukan secara tertutup. Sebab, khitbah belum merupakan kepastian dari pernikahan dan masih ada kemungkinan untuk ditolak. Jika ternyata tidak terjadi pernikahan setelah batalnya lamaran yang sudah dilakukan, maka si wanita tetap mulia. Ia tetap terjaga kesuciannya dari fitnah. Begitu pula dengan si pelamar, jika lamarannya ditolak, maka ia tidak perlu menanggung malu.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda sebagai berikut.
“Umumkan pernikahan dan rahasiakan lamaran.” (HR. Dailami).
Hadits tersebut dinilai dhaif (lemah) karena salah satu perawinya dianggap majhul (samar orangnya). Kendati demikian, para ulama tetap menganjurkan untuk merahasiakan lamaran. Bukan karena hal ini terdapat nilai sunnahnya, melainkan dalam rangka menghindari setiap peluang hasad atau iri hati yang bisa menjadi memicu keinginan untuk menggagalkan rencana pernikahannya.
Hal itu sejalan dengan hadits dari Mu’adz bin Jabal Ra. yang menuturkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda sebagai berikut.
“Gunakan cara rahasia ketika ingin mewujudkan rencana. Karena, setiap pemilik nikmat, ada peluang hasadnya.”
(HR. Thabrani)
Hadits tersebut bersifat umum dan berlaku untuk semua kasus. Oleh karena itu, menjadi adab ketika seseorang hendak mewujudkan rencananya, termasuk rencana menikah, untuk merahasiakannya. Namun, sebagian besar orang justru mempublikasikannya, terutama di media sosial, dengan alasan untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain, baik kerabat maupun sahabat.
Tujuannya memang baik, tetapi salah tempat, situasi, dan kondisi. Akibatnya, bisa menimbulkan fitnah yang merusak ke mana-mana, misalnya ada unjuk sifat berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan di dalamnya. Oleh karena itu, merahasiakan prosesi lamaran akan lebih baik dengan beberapa alasan dan pertimbangan. Ada beberapa pertimbangan lain untuk alasan merahasiakan lamaran.
Pertama, kamu yang melamar maupun orang yang kamu pinang belum sah menjadi pasangan hidup. Lamaran hanyalah sebuah tahap awal menuju jenjang pernikahan. Kamu dan si dia yang disatukan melalui ikatan pertunangan belum bisa dinyatakan sebagai pasangan sah.
Lamaran hanyalah simbol bahwa kalian menyatukan tujuan dengan seluruh keluarga masing-masing. Dengan tanpa mencedrai hakikat lamaran, hal ini belum bisa mengubah status pasangan menjadi sah. Sebaiknya, lamaran ini dimaksudkan agar masing-masing pasangan memegang teguh kemantapan hatinya hingga sampai pada jenjang pernikahannya kelak.
Kedua, sebagaimana dinyatakan dalam hadits, mempublikasikan lamaran berpotensi menimbulkan iri hati dari orang lain. Selain itu, alih-alih memberitahukan kabar bahagia, jangan sampai pengumuman lamaran ini juga menjadikan orang lain sirik, apalagi terluka hatinya.
Ya, memang tujuannya memang baik, yaitu ingin berbagi momen bahagia agar orang lain juga ikut merasakannya. Namun, perlu dipahami juga bahwa ada beberapa orang yang sensitif dan rapuh hatinya, termasuk saat mengetahui kabar bahagia dari kamu dan calon istrimu.
Bisa jadi, orang-orang ini memiliki pengalaman pahit terkait prosesi lamaran yang kemudian mengakibatkan dirinya menjadi rentan saat mendengar segala hal tentang prosesi lamaran. Nah, untuk menjaga perasaan orang lain dan merendam tanggapan yang kurang menenakkan di luar sana, merahasiakan prosesi lamaran dianggap sebagai langkah yang bijak.
Ketiga, mengantisipasi terjadinya berbagai hal yang tidak diinginkan, seperti lamaran ditolak atau pernikahan gagal dilaksanakan. Jika lamaran ditolak, maka hal ini akan menjadi beban psikologis tersendiri, apalagi jika prosesi lamaran itu banyak diketahui orang luar.
Selain itu, tentu kamu juga sudah pernah mendengar kabar menyedihkan bahwa sepasang kekasih yang telah melangsungkan prosesi lamaran, diketahui gagal berlanjut ke jenjang pernikahan. Nah, merahasiakan prosesi lamaran, kecuali diketahui oleh kerabat terdekat saja, dimaksudkan untuk mengantisipasi dampak dari kejadian seperti ini.
Jika pernikahan ini urung atau batal, padahal banyak orang lain yang sudah mengetahui kabar lamaran tersebut, maka dikhawatirkan akan menyakiti perasaan dan merugikan nama baik yang bersangkutan.
Untuk mengantisipasi gagalnya pernikahan, merahasiakan lamaran juga penting dan sangat berarti bagi si wanita dan keluarganya. Jika pernikahan itu tidak jadi dilaksanakan, padahal orang banyak sudah mengetahui wanita tersebut sudah dilamar, maka bagaimanakah perasaan dan kehormatan yang bersangkutan? Bisa jadi, ini sangat menyakitkan dan merugikan nama baiknya.
Tidak menutup kemungkinan pula orang lain akan ragu mengajukan lamaran, karena pihak sebelumnya telah mengundurkan diri. Bisa jadi, orang lain akan berpikiran negatif terhadap pihak si wanita dan keluarganya. Sedangkan, bila prosesi lamaran dirahasiakan, andai pun tidak berlanjut ke pernikahan, maka diharapkan nama baik (kehormatan) wanita dan keluarganya akan lebih terjaga. Sebab, hal itu hanya diketahui oleh keluarga yang sangat terbatas.
Oleh karena itu, sebaiknya kamu dan calon pasangan tidak mempublikasikan acara khitbah atau prosesi lamaran tersebut. Sering kita menyaksikan hari ini, jauh sebelum pernikahan, bahkan, meminang pun belum sudah digembar-gemborkan dan dipublikasikan di media sosial.
Di kalangan orang-orang terkenal lebih dahsyat lagi. Belum apa-apa, mereka sudah sering terlihat berjalan berduaan (pacaran), menampakkan kemesraan di depan publik, padahal belum diikat dengan tali pernikahan. Hal semacam ini sifatnya riskan, perlu untuk dijadikan pertimbangan.
Sederhana Dalam Prosesi Lamaran
Beberapa acara lamaran, apalagi yang disusul dengan pertungan, tentunya perlu persiapan yang matang agar bisa berjalan sesuai yang diharapkan. Meskipun kamu hanya akan mengundang keluarga dan sahabat dekat untuk hadir, tetap saja kamu perlu mengeluarkan biaya yang cukup mengurangi tabungan untuk biaya nikah.
Melaksanakan khitbah atau lamaran secara tertutup dan tanpa mempublikasikannya kepada banyak orang, tentunya juga akan berdampak pada acara yang digelar, yakni lebih sederhana dan minim kemegahan. Selain itu, penting juga buat kamu untuk berpenampilan sederhana saat melamar.
Kenapa harus demikian?
Dalam ajaran Islam, tidak diperbolehkan bagi pelamar untuk takalluf (membebani diri) dengan memakai pakaian yang sangat mewah dan parfum mahal. Hal ini karena kesediaan wanita untuk dilamar bukanlah tanda akan keridhaan dari kedua belah pihak. Dan, hal ini menjadikan sangat mungkin sang wanita akan terfitnah dengan penampilan kamu itu, sehingga menimbulkan berbagai perkara yang tidak terpuji, khususnya jika lamaran kamu ditolak.
Sayangnya, kita sering menyaksikan pelamar mendemonstrasikan status sosialnya di hadapan orang tua atau wali seseorang yang akan dilamarnya, atau ada berbagai barang mahal dan branded yang harganya bikin orang geleng-geleng kepala.
Tidak hanya itu, ada pula berbagai item material yang harganya bikin sakit hati kaum fakir miskin, yaitu pernak-pernik perhiasan dan lain sebagainya yang melampaui batas. Dan, ini seakan dimaklumi (atau malah disukai) oleh kedua belah pihak.
Ironisnya, sikap bermewah-mewahan dan berlebih-lebihan itu terjadi bukan hanya di kalangan selebritis, tetapi juga mewabah di kalangan Umat Muslim, tidak peduli di kota maupun di desa-desa, bahkan orang terdekat kita. Padahal, sikap israf atau berlebih-lebihan dan melampaui batas itu sangat dilarang dalam ajaran Islam. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firmanNya berikut ini.
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. al-A’raaf:31)
Perlu kamu ingat, lamaran ini baru chapter pembukaan, kata pengantar, sekadar pendahuluan, dan belum apa-apa dalam mewujudkan niat baik, bak inti sebuah buku berjudul “menikah”. Maka dari itu, kamu tidak perlu menyiapkan acara lamaran yang megah, toh lebih baik biayanya disisihkan untuk biaya menikah.